Pengampuan Penyandang Disabilitas Mental di Indonesia
Di dalam istilah hukum, ada yang istilah “pengampuan “,dimana seorang penyandang disabilitas mental = Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) / Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) karena kondisi yang dialami seperti kekambuhan, ketidakstabilan hingga hilang kesadaran sehingga tidak sanggup taat dalam hukum, dapat dimasukkan dalam pengampuan. Pengampu bertidak sebagai wakil untuk melindungi dan menjamin semua hak orang dengan disabilitas mental tersebut. Namun pada prakteknya pengampuan di Indonesia masih jauh dari apa yang tertuang pada konvensi PBB, United Nations Convention On The Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD) pasal 8 yang menyatakan pemerintah harus “mengadopsi kebijakan-kebijakan yang segera, efektif, dan sesuai” untuk “melawan stereotip, prasangka, dan praktik-praktik yang merugikan menyangkut penyandang disabilitas… dalam seluruh bagian kehidupan” (Panglipurjati, 2021).
Walaupun Indonesia telah ikut meratifikasi UNCRPD, laporan hasil penelitian LBHM Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat tahun 2020 menemukan bahwa regulasi mengenai pengampuan yang tertuang di Undang Undang Kesehatan Jiwa 2014 dan peraturan pelaksanaannya serta Undang-Undang Penyandang Disabilitas masih melanggengkan lembaga pengampuan. Meskipun pada beberapa sisi telah dicoba untuk memperketat mekanisme permohonan dan penetapan pengampuan tetapi temuan menyatakan tidak cukup nampak perbaikan regulasi sesuai paradigma supported decision making yang memungkinkan orang dengan disabilitas mental bisa memiliki kapasitas hukum memadai sehingga bisa terlibat dalam keputusan yang diambil dengan dukungan intitusi serta orang- orang yang dia percayai, sebagaimana diamanatkan oleh UNCRPD. Bahkan ditemukan juga, sistem pengadilan Indonesia terkait pengampuan tidak sejalan dengan UNCRPD, yang menyatakan bahwa semua orang dengan disabilitas mental mendapatkan persamaan hak dan kedudukan di mata hukum.
Di Indonesia, seperti banyak dinyatakan oleh member KPSI, masih banyak kasus terjadi, ODGJ sering mengalami pengambilan hak nya secara paksa akibat pengampuan yang tidak sesuai UNCRPD. Seperti contoh yang banyak dikeluhkan, ODGJ kehilangan hak asuh atas anak, kehilangan harta warisan, kehilangan kuasa atas layanan financial, kehilangan kesempatan melanjutkan pendidikan ataupun kehilangan kesempatan bekerja. Beberapa anggota KPSI bahkan mengaku pernah mengalami rawat paksa oleh warga sekitar dan dikirim ke panti rehabilitasi dengan kualitas buruk yang justru akhirnya mengalami penganiayaan.
Jadi walaupun Indonesia telah meratifikasi UNCRPD ternyata proses pengampuan yang ada belum mencerminkan supported decision making. Sebagai contoh perbandingan adalah di negara bagian Victoria, Australia, dimana proses pengampuan dengan prinsip supported decision making, dilaksanakan dengan melalui proses dengar pendapat (hearing) yang melibatkan yang ODGJ/ODMK bersangkutan, pengacara, hakim , psikiater serta pelaku rawat. Proses yang ideal, dalam pengampuan harus menitikberatkan sejauh mana kondisi mental seorang penyandang disabilitas mental mempengaruhi kemampuannya mengambil keputusan.
Harapan ke depannya pihak berwenang menyangkut kebijakan hukum seperti DPR, pemerintah, tenaga kesehatan seharusnya lebih berorientasi kepada proses. Karena proses pengambilan keputusan dalam membantu penyandang disabilitas mental, OGDJ/ODMK bukan mengarah kepada substitute decision making/penggantian pengambilan keputusan melainkan lebih kepada supported decision making/dukungan pengambilan keputusan (Panglipurjati, 2021)
Fakta yang masih ditemui di Indonesia, penetapan pengampuan oleh hakim, tidak didasarkan pada hasil pemeriksaan oleh ahli kesehatan jiwa. Juga seharusnya penetapan pengampuan bisa di pilah antara pengampuan permanen atau sementara. Peraturan dan undang undang juga sudah seyogya nya mengutamakan pemenuhan hak ODGJ /ODMK, yang bertujuan melindungi dari penyalah gunaan pengampuan.
Maka diharapkan, perhatian terhadap pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia masih harus ditingkatkan supaya masyarakat khususnya penyandang disabilitas mental dan keluarganya memiliki akses atas pengobatan dan perawatan yang memadai sehingga penyandang disabilitas mental dapat berada pada kondisi yang lebih stabil atau pulih sehingga mereka dapat mengambil keputusan atau melakukan perbuatan hukum secara mandiri sebagai salah satu bentuk pemenuhan hak asasi.
Artikel oleh Agus Sugianto, S.Pd., M.HP.
Referensi
Albert Wirya, et al, Asesmen Hukum Pengampuan di Indonesia: PerlindunganHak Orang Dengan Disabilitas Psikososial: Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, 2020, pp.8.
Panglipurjati, P., 2021. Sebuah Telaah Atas Regulasi dan Penetapan Pengampuan Bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia dalam Paradigma Supported Decision Making.. Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan, 6(02), pp.79-109.