October 28, 2022 By Admin2

Awal Mula Didiagnosa Skizofrenia  Oleh: I Ketut Angga Wijaya

Pria yang suka menulis novel itu tampak berbaring santai. Di sela jarinya, terselip sebatang rokok yang sedang menyala. Itu adalah rokok kesekian kalinya sore itu. Ia menghadiri acara diskusi tentang puisi dan terapi, dihubungkan dengan skizofrenia, penyakit mental yang belakangan banyak menghinggapi anak muda. Diskusi berlangsung di Denpasar, Bali. 

 

Namanya Saka, ia tak mau dipanggil dengan nama lengkap. Saka sebenarnya keturunan Brahmana, pembagian sosial berdasarkankan profesi, memiliki tugas memberi pencerahan pada masyarakat. Saya menyapanya, dan ia menjawab dengan suara pelan. Beberapa waktu lalu ia berobat di Rumah Berdaya Denpasar, komunitas rehabilitasi psikososial dan pemberdayaan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), tempat kami bertemu kali pertama. 

 

Waktu itu, ia datang dengan tampilan wah, berkaca mata hitam, mengendari sepeda motor sport namun dengan pakaian tak lazim bahkan bisa dibilang bertolak belakang. Saya menyangka ia seniman. Gaya bicaranya lugas, seperti ciri khas masyarakat pesisir di utara Bali. Benar saja, saat mengobrol, ia mengaku berasal dari Buleleng, kabupaten yang pada masa penjajahan Belanda merupakan ibu kota Sunda Kecil, wilayah yang membawahi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. 

 

Saka banyak menyebut soal telepati, ia mengaku memiiki kekuatan supranatural tersebut. Ia bicara tentang hal tersebut dengan sangat percaya diri. Bagi saya yang memang sejak dulu menyukai spiritualitas dan meditasi, apa yang ia bicarakan bukan merupakan hal yang asing, terlebih dulu saya pernah tertarik mempelajari bidang itu. 

 

Melihat dan mengenal Saka, saya seperti berhadapan dengan cermin. Dulu, saya pernah kuliah, banyak membaca buku, dan suka berdiskusi. Debat menjadi sesuatu yang tak terhindarkan saat saya bertemu dengan narasumber sebuah diskusi, dalam seminar atau di luar ruang kuliah saat kawan-kawan sejalan, anak-anak muda yang gelisah, belum merasa puas atas pelajaran atau ilmu yang didapat dari kampus. 

 

Kepintaran dan kecerdasan tak membuat saya puas, malah membuat saya arogan, ada kepuasan saat melihat lawan bicara atau diskusi menyerah kalah, atau menjadi marah pada saya. Tak hanya diskusi di dunia nyata, tapi juga di dunia maya. Waktu itu internet mulai disukai di Indonesia, terlebih saat itu saya kuliah sambil bekerja menjadi operator warung internet (Warnet), yang membuat saya bisa online sepanjang waktu.

 

Saya masih ingat, waktu itu hari menjelang malam, saya dijemput oleh ayah saya, beliau mengendarai sepeda motor butut, menempuk jarrah ratusan kilometer demi bertemu saya, yang oleh petugas keamanan disebut mengamuk, di sebuah warung di Gerokgak, wilayah desa sebuah kecamatan di Buleleng. Terakhir hal yang saya ingat, saya duduk bersila di bawah sebuah pohon, meminta pertolongan tuhan, saya tak sanggup lagi mendengar bisikan suara yang semakin keras di telinga saya. Suara itu menyatakan sesuatu, bahwa saya akan ditangkap polisi karena aktivisme saya. 

 

Keyakinan itu muncul saat berada di rumah seorang bibi di Singaraja, sehari sebelum peristiwa tersebut, saya bersama kemenakan saya dari kampung halaman di Negara mengendarai sepeda motor menuju kota di ujung utara pulau Bali tersebut. Kami bermaksud menjenguk sang bibi. Beliau dalam masa pemulihan usai menjalani operasi tulang karena terpeleset di kamar mandi. Bibi saya hanya sekilas mengenali kami. Maklum saja, usia beliau saat itu sudah renta. 

 

Saat malam tiba, saya memutuskan menginap di rumah bibi saya, sedangkan kemenakan saya menginap di rumah kakak dari ibunya. Kami berpisah malam itu. Sepeda motor yang kami kendarai ia serahkan pada saya. Keanehan mulai muncul, saat membaca koran sebuah harian lokal, mata saya tertuju pada surat pembaca yang seingat saya berisi pendapat, orang-orang yang kritis sebaiknya dihukum mati. Saya ketakutan membacanya, merasa tulisan tersebut ditujukan pada diri saya. Saat itu adalah mahasiswa yang terbilang kritis. Terkadang saya kurang sadar, apa yang saya tulis di mailing list kala itu bisa berujung pada hal yang buruk. Itu perasaan saya. 

 

Malam itu saya benar-benar takut. Di telinga, terdengar bisikan yang menyuruh saya untuk pulang balik ke Negara, karena jika tidak saya akan dibunuh. Saya berpamitan pada penjaga rumah bibi saya, dengan sepeda motor yang dipakai kemenakan saya, tanpa ia mengetahuinya. Saya merasa bisikan di telinga tersebut harus diikuti dan dituruti saat itu juga. Malam itu, saya berangkat dengan bensin yang sedikit, tanpa membawa perbekalan, baik uang atau makanan. 

 

Karena bensin yang tak mencukupi, sepeda motor yang saya kendarai berhenti di wilayah kecamatan Seririt. Di sebuah perempatan jalan, yang sepertinya berdekatan dengan sebuah pasar. Hari hampir tengah malam, bisikan suara bertambah keras. Saya mencari cara untuk bermalam di jalanan. Akhirnya, saya bersembunyi di sebuah halaman sebuah merajan atau pura keluarga. Saya takut, melihat cahaya kendaraan bagai melihat api leak, entitas gaib yang dipercaya orang Bali sebagai ilmu hitam. 

 

Saya berada di pura itu hingga menjelang fajar. Semalam saya terjaga dan tidak tidur. Keesokan harinya, saat para tukang ojek mulai muncul, saya berbicara pada salah satu dari dua tukang ojek untuk diantarkan ke kota Singaraja, menemui kembali kemenakan saya dan menjelaskan tentang keadaan diri saya. Kunci sepeda motor yang saya bawa entah hilang kemana, pada kegelapan malam yang menakutkan. 

 

Di tas saya tersimpan sebuah kamera lama, saya membayar jasa tukang ojek dengan barang tersebut. Saat tiba di rumah bibi saya, tampak kemenakan saya merasa aneh dengan diri saya. Ia agak panik, di matanya tampak ada juga kesedihan. Ketika itu hari Senin, saya meyakininya karena paman dari keponakan saya memakai baju seragam dan saat menjemput saya dia menelepon rekan kerja untuk meminta izin terlambat mengikuti upacara bendera. 

 

Dia pegawai negeri pemerintah di Buleleng. Dia menanyakan, di mana sepeda motor yang saya kendarai. Saya menjawab, sepeda motor ada di kecamatan Seririt. Lalu kami bersama ke sana menaiki sepeda motor. dikembalikan ke Singaraja. Olehnya saya diberi uang sebagai ongkos bus yang akan membawa saya kembali ke Negara, Jembrana, kampung halaman saya. 

 

Setelah berada di dalam bus, bisikan suara itu datang lagi, dan terus berulang. Ada suara batin yang menyuruh saya keluar dari bus, danberganti bus. Itu terjadi berulang, hingga sekitar tiga kali. Hingga uang saya benar-benar habis, dan saya memutuskan untuk berjalan kaki. Pulang menuju rumah, untuk meminta perlindungan. Saya amat takut, tetapi dalam lubuk hati saya tetap tenang. Di jalan, bibir saya tak berhenti mengucapkan doa dan mengulang nama suci tuhan, seperti apa yang saya yakini dan pelajari sejak usia remaja. 

 

Saya berjalan kaki cukup jauh, ada kira-kira sepuluh kilometer, hingga tertakhir berada di Desa Gerokgak. Berakhir saat petugas keamanan mengamankan saya. Keluarga menjemput saya untuk dibawa pulang. Keesokan harinya, oleh ayah dan ibu kandung saya melalui diskusi keluarga, dibawa berobat ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) yang berada di Kabupaten Bangli, Bali.

 

Dari hasil pemeriksaan, saya didiagnosa mengidap skizofrenia paranoid, dan diharuskan dirawat untuk beberapa waktu di RSJ. Waktu itu, saya dirawat selama dua minggu. Apa yang saya alami menjadi pelajaran penting bagi saya dan keluarga, untuk lebih memperhatikan kesehatan mental. 

 

[Penulis sejak 2015 bekerja sebagai jurnalis, telah menulis sembilan buku dan aktif berbagi ilmu dan pengalaman sebagai penyintas skizofrenia. Ikut membangun Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) simpul bali bersama dr. I Gusti Rai Putra Wiguna, Sp.KJ, psikiater yang berperan besar atas kepulihannya.]

 

Bagikan artikel ini