August 22, 2023 By Osse Kiki

“Sakit Jiwa” [Hanya] Soal Gangguan Zat Kimiawi Otak

Sumber gambar: -LinkedIn-

  1. Sederhanakan saja. Mari kita semua membebaskan perasaan dan pikiran masing-masing bahwa “gangguan jiwa” bukanlah penyakit yang “luar biasa”/”tak bisa disembuhkan”, dianggap aib, kutukan, atau bahkan pada pengidap gangguan jiwa sendiri adalah “kartu mati”—tak bisa kembali pulih, masa depan suram dan terampas, terabaikan/terbuang bahkan oleh keluarga sendiri—perasaan ini tentunya akan membuat mereka semakin tertekan, putus asa, tak jarang memilih “bunuh diri” sebagai jalan akhir. Hal yang sangat menyedihkan—tak hanya oleh “pelaku bunuh diri” namun juga sahabat, pasangan, keluarga, juga masyarakat tempat dia lahir, dibesarkan, atau bekerja dan menetap—merasa kehilangan sosok yang acapkali digambarkan sebagai “orang yang baik hati, “pendiam/tidak banyak bicara”, “anak/remaja penurut”, atau juga “berprestasi”, dan lain-lain.
  2. Gangguan jiwa adalah MURNI merupakan gangguan otak. Ada ketidakseimbangan pada neurotransmitter atau zat kimiawi pada organ otak—pusat pengendali manusia. Zat kimiawi otak ada yang “berlebih” atau sebaliknya “kekurangan” yang menyebabkan terjadinya perubahan pada perasaan, perilaku, juga pola pikir manusia. Mari kita sepakati hal ini dahulu, baru nantinya kita bisa bicara lebih lanjut perihal penanganan “pengidap gangguan jiwa” yang di Indonesia dikategorikan dalam beberapa “istilah” seperti ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa), ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan), artinya: mereka yang akan menjadi ODGJ bila tidak segera ditangani profesional kesehatan jiwa), ODB (Orang Dengan Bipolar), gangguan jiwa yang ditandai dengan perubahaan perasaan/pikiran yang ekstrem—sebentar tertawa bahagia, tak lama kemudian bisa bersedih (bahkan dengan tangis memilukan), “mood swing”/emosi yang tidak stabil, dll. Ada juga istilah ODS/Orang Dengan Skizofrenia—gangguan jiwa yang disebutkan pengidapnya paling banyak di dunia untuk saat ini—terdapat di Indonesia. Sesuatu yang tidak bisa dianggap enteng—perlu diskusi dan penanganan secara nasional/lintas-instansi dan kementerian, termasuk komunitas adat/agama/budaya karena stigma terhadap ‘gangguan jiwa’ masih sangat sulit untuk dihilangkan di Indonesia—negara kepulauan terbesar di dunia.
  3. Jumlah tenaga atau profesional kesehatan jiwa seperti psikolog klinis dan psikiater di Indonesia masih minim/sedikit apabila dibandingkan dengan jumlah populasi penduduk Indonesia. Perlu banyak pendekatan jika ingin merubah hal ini. Bahkan, di kalangan tenaga medis sendiri, menjadi psikolog klinis maupun psikiater lekat dengan candaan yang mengarah pada stigma: “bahwa mereka nanti dikhawatirkan menjadi agak “gila” karena sering bergaul dan menangani gangguan jiwa. Anggapan yang tentu bias dan tidak sehat. Pondasi kemanusiaan tentu menjadi “sumpah” profesi seorang dokter. Hal ini mungkin tidak ada di negara-negara maju dan berkembang. Sebelum tamatan SMA ingin melanjutkan studi kedokteran—tentu mesti tahu—mengapa ia ingin menjadi dokter kelak, apa motivasinya? Itu sangat penting bagi saya dan juga bagi orang awam yang masih bisa dan mau berpikir kritis.
  4. 3. Undang-undang (UU) Kesehatan Jiwa yang dibuat lalu disahkan pada 2014 mesti diakui secara berani dan jujur banyak merubah pola pemikiran juga penanganan gangguan jiwa di Indonesia. Kini, di pusat layanan terkecil seperti Puskesmas—obat-obatan untuk mereka yang didiagnosa mengidap gangguan jiwa sudah tersedia. Hal ini tentu sebuah kemajuan jika dibandingkan dengan dulu—bahkan gangguan jiwa pun dahulu banyak ditangani dokter syaraf yang keilmuannya berbeda dengan gangguan jiwa—walau ada kemiripan.
  5. Biaya pengobatan gangguan jiwa pun di Indonesia baik rawat jalan maupun rawat inap di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) atau rumah sakit umum/daerah yang mempunyai bangsal pasien gangguan jiwa ditanggung oleh asuransi kesehatan baik negeri maupun swasta. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah terobosan yang maju dan perlu terus didukung. Bagi yang tidak mampu secara ekonomi, biaya JKN ditanggung oleh pemerintah daerah setempat. Kabarnya, sistem ini sekarang mengalami “perombakan”. Semoga tetap baik dan bermanfaat tidak hanya bagi si sakit (pasien), tetapi juga sebagai bentuk solidaritas sesama warga masyarakat, “gotong-royong” berupa “subsidi-silang” dalam bidang kesehatan di Indonesia.
  6. 5. Komunitas yang berfokus pada bidang kesehatan jiwa baik secara online atau offline kini banyak tumbuh di Indonesia. Sebagai salah satu penyintas skizofrenia yang ikut mendirikan komunitas pemberdayaan Orang Dengan Skizofrenia (ODS) di Bali, saya merasa berhutang-budi pada komunitas—yang memberi saya banyak ilmu pengetahuan tentang gangguan jiwa—dari sana saya banyak membaca buku-buku psikologi dan psikiatri—juga bergaul dengan kalangan profesional kesehatan jiwa—yang kemudian menjadi bahan dan kajian secara otodidak sebagai penulis dan jurnalis, tentang kesehatan jiwa—banyak esai, puisi, karya jurnalistik yang lahir atas apa yang saya alami, rasakan, lihat, dan dari pergaulan dengan komunitas yang anggotanya tak hanya ODGJ/ODS tapi juga keluarga mereka, sebagai caregiver yang memang tidak mudah sehingga perlu wadah untuk saling berbagi, agar mereka tidak merasa sendirian menanggung apa yang banyak orang anggap sebagai “beban”—mempunyai anak/adik/kakak/bahkan kekasih yang “sakit jiwa”.
  7. KOMUNITAS-KOMUNITAS seperti ini yang perlu “dirangkul” dan “diajak bekerja sama” oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, karena mereka tidak hanya “mengalami” namun juga secara tidak langsung sebegai “penggerak”—hal yang paling kecil: “bisa menjelaskan apa itu gangguan jiwa” dalam lingkungan terkecil mereka: desa, banjar, bahkan lingkungan perumahan tempat mereka tinggal/menetap, baik sebagai warga lokal maupun warga pendatang pada sebuah kota/desa pada banyak wilayah di Indonesia.

Semoga kesehatan jiwa terus mendapat perhatian di negeri ini. Maju terus para penggerak dan penggiat kesehatan jiwa di seluruh Indonesia.

 

Denpasar, 16 Agustus 2023, 11:41 WITA

Salam Hormat,

I Ketut Angga Wijaya

[Penulis dan jurnalis, penyintas skizofrenia, salah satu pendiri Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) simpul Bali, cikal-bakal Rumah Berdaya Denpasar, yang kini menjadi pusat edukasi dan pemberdayaan ODGJ dan ODS di Kota Denpasar, Provinsi Bali, Indonesia.]

Bagikan artikel ini